Beranikah DPR & Jokowi Ubah UU ‘Keramat’ KPK?

0
888

2214608Buanainformasi.com – Keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Pemerintah untuk mengubah UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi bola panas. Dalam sejarah DPR, pada 2012, upaya ini gagal di tengah jalan, semua lempar handuk. Kali ini, DPR kembali uji nyali revisi UU ‘keramat’ KPK.

Mulanya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolgenas) prioritas 2015. Namun, UU ini di tengah perjalanan masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2015 ini. Polemik pun mulai muncul di publik.

Menteri Hukum dan HAM menyebut perubahan UU KPK merupakan usulan Komisi Hukum DPR. Namun sebaliknya, pihak Baleg DPR RI menyebutkan usulan perubahan UU KPK merupakan inisiatif pemerintah. Naskah Akademik (NA) menjadi tanggungjawab pemerintah. “Itu (revisi UU KPK) usulan pemerintah. Bilang jangan mencla-mencle,” ujar Wakil Ketua Baleg DPR RI Firman Subagyo di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (17/6/2015).

Saat rapat di Baleg DPR, pada Selasa (16/6/2015), Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyebutkan sejumlah isu yang menjadi bahan perubahan UU KPK. Seperti soal kewenangan penyadapan KPK yang berpotensi melanggar HAM. “Termasuk tentang peraturan kolektif kolegial dan Dewan Pengawas,” kata Yassona.

Desakan perubahan UU KPK ini sebenarnya cenderung menguat terutama setelah kasus yang menjerat Ketua KPK Non aktif Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK non aktif Bambang Widjojanto.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mendukung rencana perubahan UU KPK. Ia menepis anggapan bila perubahan UU KPK merupakan bentuk pelemahan terhadap institusi KPK. “Revisi itu untuk mengembalikan kepada fungsi KPK. Saat ini persoalan kelembagaan di KPK,” ujar Fadli di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (17/6/2015).

Ia mengkritik sejumlah tindakan KPK yang justru menciptakan disharmoni dengan lembaga penegakan hukum lainnya. “Dalam banyak hal, KPK dianggap berbenturan dengan lembaga penegak hukum lainnya, menyadap orang tanpa protap, ini harus dibenahi. Dalam melaksanakan tugas, KPK jangan abuse of power,” tegas Fadli.

Dia menilai KPK terlalu powerfull di saat bersamaan tidak ada mekanisme kontrol di KPK. “Jadi pimpinan KPK itu sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak boleh ada godaan tiga yaitu harta, tahta dan wanita,” seloroh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Selain materi perubahan yang memuat isu sensitif, secara teknis, UU KPK khususnya pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1 Tahun 2015 tentang KPK juga menimbulkan persoalan teknis perundang-undangan yang serius. Seperti soal usia komisioner KPK yang diubah dari maksimal 65 tahun menjadi boleh di atas usia tersebut. Tidak sekadar itu, muatan Perppu KPK yang telah disetujui DPR pada masa sidang lalu itu juga bermasalah dalam konteks pembuatan perundang-undangan.

Di atas semua itu, apakah DPR dan Jokowi memiliki keberanian mengubah UU keramat KPK ini? Karena faktanya, DPR pernah gagal melakukan perubahan itu. Lebih dari itu, mereka yang menyuarakan perubahan masuk dalam daftar politisi yang mendorong pelemahan institusi KPK. Meski patut juga direnungkan pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menyinggung KPK dibangun atas dasar popularitas akan kalah dengan popularitas yang lebih di atasnya.

Yang pasti, Presiden Jokowi saat hiruk pikuk KPK-Polri banyak dinilai memiliki sikap yang tidak tegas. Namun, di saat bersamaan tidak ada ekses signifikan atas popularitas dan integritas Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Apakah Jokowi martil perubahan UU KPK? Kita lihat saja.( INILAHCOM )