Ketum Lembaga Investigasi Negara Menduga Ada ‘Simbiosis Mutualisme’ Dalam Kasus Kematian Wartawan Sinar Pagi Baru

0
990

Jakarta, buanainformasi.com – Peristiwa yang menimpa Muhammad Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru yang tewas dalam tahanan dengan status tersangka menjadi satu pelajaran yang sangat berharga bagi insan pers tanah air untuk melihat lebih jauh ke depan bahwa pers Indonesia sudah berada dalam status awas dan bahaya. Kriminalisasi terhadap karya jurnalistik kian marak terjadi di berbagai daerah akibat pemberitaan.

M Yusuf yang kerap menulis berita di media SPB mengenai perlakuan perusahaan sawit PT Multi Sarana Argo Mandiri atau PT MSAM Joint Perhutani II terhadap masyarakat setempat, sesunguhnya adalah bagian dari implementasi peran pers, namun sayangnya harus berujung dikriminalisasi.

Padahal, pemberitaan-pemberitaan itu (oleh M Yusuf) merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terbukti, pada Jumat 6 April 2018, perwakilan masyarakat telah mengadukan nasibnya ke Komnas HAM di Jakarta.

Ketua Umum Lembaga Investigasi Negara Johanis Eddi Fentus Tuwul angkat bicara terkait peristiwa memilukan tersebut.

“Saya atas nama pribadi dan keluarga besar Lembaga Investigasi Negara menyampaikan turut berbelasungkawa, berdukacita atas kematian rekan jurnalis, M. Yusuf. Semoga almarhum khusnul khotimah, keluarga yang ditinggalkannya senantiasa tabah, tawakal, dan ikhlas dalam menghadapi situasi sulit ini,” kata Tuwul melalui jaringan selulernya, Selasa, (12/06/18).

Tuwul menambahkan proses penegakan hukum yg sepertinya tidak wajar sehingga wafatnya seorang wartawan dalam tahanan yang terkait tentang pemberitaan yang ditulis wartawan.

“Selain itu perlu protes keras atas tindakan tersebut apabila terkait atas perbuatan oknum aparat. Karena melalui tangan jurnalis dan medialah kita banyak mendapat informasi dan pengetahuan,”ungkap Tuwul.

Seperti pemberitaan sebelumnya, M Yusuf ditangkap dan diajukan ke pengadilan atas pengaduan sebuah perusahaan perkebunan sawit milik konglomerat lokal, Andi Syamsuddin Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Haji Isam. M. Yusuf harus mendekam di tahanan hingga meninggal karena tulisan-tulisan almarhum yang membela hak-hak masyarakat Pulau Laut yang diusir secara sewenang-wenang oleh pihak PT. MSAM, milik Haji Isam.

Seperti diketahui, M Yusuf ditahan karena tengah menghadapi proses hukum dengan dakwaan melanggar Pasal 45 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, terkait pemberitaan.

Dewan Pers sudah bertindak di luar batas kewenangannya, dan bahkan menghianati dan melanggar fungsi Dewan Pers itu sendiri sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 15 Ayat (2) huruf a : melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain yang sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers. Bukan sebaliknya, jadi badan pembungkam pers.

Tuwul menduga bahwa ada kepentingan antara para pengadu delik pers dengan para oknum aparat kepolisian, juga dengan kejaksaan. Hampir semua kasus yang menimpa wartawan terkait dengan pekerjaan jurnalistiknya, sang terlapor dipaksa bersalah oleh para pihak berkepentingan itu melalui penerapan KUHP atau UU ITE, bukan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

“Sangat terang-benderang terlihat bahwa ada ‘kerjasama’ simbiosis mutualisme antara pihak pengadu dengan para oknum aparat di kepolisian dan bahkan kejaksaan. Sudah jelas kasusnya delik pers, tapi tetap saja dipaksakan menggunakan pasal-pasal KUHP atau UU ITE, bukan UU Pers. Apalagi kasus yang melibatkan konglomerat lokal di Tanah Bumbu itu, jangankan oknum di Polres, oknum petinggi Mabes Polri bisa dibeli, kepentingan para mafia di lingkaran mereka dilindungi. Rakyat dibiarkan tertindas, wartawan dibunuh atau dibiarkan membusuk di penjara,”tuturnya. (rls/*)