Buanainformasi.com, BINTAN — Penyidik Kepolisian Resor Bintan di Kepulauan Riau menyelidiki kematian M Arif Husein. Pelajar SMPN 11 Bintan itu diduga tewas, Minggu (2/8), akibat penganiayaan. Dugaan penganiayaan terjadi saat Arif ikut kegiatan orientasi siswa.
Sebelumnya, di Bekasi, polisi menyelidiki kematian Evan C Situmorang (12), siswa SMP Flora. Kematian Evan diduga berhubungan dengan kegiatan masa orientasi sekolah (MOS).
Di Bintan, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bintan Ajun Komisaris Polisi Andri Kurniawan menyatakan, keluarga belum melaporkan kematian Arif. Namun, penyidik akan tetap memeriksa dugaan penganiayaan terhadap korban. “Penyidik akan menindaklanjuti informasi dugaan penganiayaan saat korban mengikuti MOS di sekolah,” ujarnya, Senin (3/8). Keluarga menolak korban diotopsi dengan alasan ingin segera memakamkan korban.
Penyidik sudah mendatangi rumah keluarga korban dan meminta keterangan awal soal kondisi terakhir korban. Ayah korban, Dodi Kuswanto, menyatakan, anaknya mengeluh sakit sebelum meninggal. Di dada korban ada memar. Menurut korban, sejumlah pelajar lain di SMPN 11 Bintan memukul dan menendangnya. Namun, korban tidak menyebut pelakunya.
“Dia dipukul karena mau izin minum. Dia kehausan, jadi mau meninggalkan kegiatan sebentar. Tetapi, beberapa seniornya tidak mengizinkan. Malahan dia dipegang lalu dipukul dan ditendang,” ujar Dodi. Keluarga sempat membawa korban ke dokter, tabib, dan rumah sakit. Kondisi Arif memburuk beberapa hari sebelum meninggal. Korban berkali- kali pingsan dan histeris. “Waktu pingsan terakhir, kami bawa ke rumah sakit di Tanjung Pinang dan sampai di sana, dia sudah meninggal,” ujar warga Desa Teluk Sasah, Bintan, itu.
Kasus Evan
Terkait kasus kematian Evan, penyidik dari Kepolisian Resor Kota Bekasi Kota memeriksa kepala sekolah, pelaksana, dan peserta MOS SMP Flora Kota Bekasi, Senin (3/8). “Belum ada keterkaitan antara meninggalnya Evan dan kegiatan MOS. Namun, polisi terus menyelidiki,” ujar Kepala Polresta Bekasi Kota Komisaris Besar Daniel Bolly Tifaona, Senin.
Pihak sekolah membantah kematian Evan terkait MOS. Pengawas MOS SMP Flora Herson Nainggolan menyatakan, dalam MOS yang digelar pada 7-9 Juli itu, tak ada kekerasan dan hukuman fisik. Dalam aturan yang dibuat panitia MOS disepakati ada hukuman fisik berupa lompat jongkok maksimal 10 kali untuk siswa yang melakukan kesalahan berulang. Namun, panitia tak memberlakukan hukuman itu. Kepala SMP Flora Maria Dagomez mengatakan tidak ada keluhan dari Evan selama MOS.
Dapat timbulkan trauma
Para psikolog berpendapat, perploncoan yang buruk pada anak dan remaja dapat menimbulkan trauma kejiwaan. Anak dapat merasa cemas, takut, tidak percaya diri, dan depresi. Psikolog anak dan remaja, Veronica Adesla, mengatakan, MOS dengan konsep yang buruk akan mengganggu perkembangan pendidikan anak. “Kalau sejak awal mereka sudah dipermalukan di depan teman-temannya, anak merasa tidak nyaman dan akan menutup diri,” katanya.
Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi, yang juga psikolog anak, menuturkan, korban perploncoan yang turut menjadi pelaku kekerasan terjadi karena secara kejiwaan, korban tidak dapat memaafkan masa lalunya. “Mereka rentan melakukan kekerasan serupa kepada keluarga atau teman,” kata Seto.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menegaskan, pemerintah melarang perploncoan. Larangan itu dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah.(Sumber : Kompas.com)