Bandar Lampung, buanainformasi.com – Masjid dinilai sebagai tempat yang mempunyai daya tarik untuk para calon peserta pilkada. Karenanya para pasangan calon (paslon) diminta tidak menjadikan masjid sebagai tempat melakukan politik praktis.
Hal ini yang diduga dimanfaatkan oleh Majelis Taklim Rahmat Hidayat, pengajian akbar yang diselenggarakan oleh Majelis Taklim Rahmat Hidayat Lampung pada Senin (26/2) lalu diduga melanggar aturan kampanye.
Diduga ibadah pengajian Rakhmad Hidayat di Metro jadi ajang untuk kampanye. Paslon melibatkan camat dalam kegiatan kampanye di Metro, pengajian Mamah Dedeh.
Alhasil, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Bandar Lampung, akan meminta klarifikasi kepada penceramah dalam acara tersebut.
“Kami akan panggil penceramah yang menunjukkan simbol-simbol dukungan terhadap salah satu paslon gubernur pada acara pengajian tersebut, untuk klarifikasi,” ujar Ketua Panwaslu Kota Bandar Lampung, Candrawansah, Rabu (28/2/2018) di ruang kerjanya.
“Ada yang tampak menunjukkan simbol dua jari, ini identik dengan ajakan untuk mendukung salah satu Paslon,” terangnya.
Kordiv Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Panwaslu Kota Bandar Lampung ini menambahkan jika pihaknya juga akan meminta keterangan kepada Ketua Majelis Taklim Rahmat Hidayat.
“Kami juga akan panggil Ketua Majelis Taklim Rahmat Hidayat, besok untuk dimintai keterangan,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Lampung Fatikhatul Khoiriah mengatakan mereka masih mengaji laporan dan temuan pelanggaran ini.
Menanggapi hal ini, tim sukses paslon lainpun angkat bicara terkait dugaan kampanye yang dilakukan di tempat ibadah.
“Kami tim paslon Arinal Djunaidi – Chusnunia sangat komit dan taat aturan tidak menjadikan masjid sebagai tempat kampanye. Bukan hanya masjid, sarana tempat ibadah lain seperti gereja, pura, vihara dan saya harapkan juga tidak dimanfaatkan sarana berpolitik praktis,” tegas tim sukses paslon Arinal-Chusnunia, Yuhadi, S.Hi.
Apa yang disampaikan Yuhadi ini didukung oleh Levi Tuzaidi, tim sukses paslon, Ridho Ficardo-Bachtiar Basri.
“Kami juga sepakat taat aturan tidak menggunakan sarana ibadah sebagai tempat politik praktis. Sebagai politisi, kami bisa membedakan mana kegiatan ibadah dan politik praktis. Jika pun misalnya ada acara keagamaan yang kami laksanakan itu sifatnya internal dan tidak dilakukan di rumah ibadah. Kita menolak politik praktis masuk masjid atau rumah ibadah dengan bungkus apapun,” tegas Levi.
Menurut peserta yang turut hadir dalam acara tersebut, kesucian masjid harusnya perlu dijaga. Dia mempersilakan politik kekuasaan partisan dilakukan di tempat lain jangan di Masjid. Dengan demikian masjid tetap menjadi rumah Allah yang sejuk, damai dan membawa berkah.
“Saya prihatin fungsi masjid disalahgunakan. Jangan bawa masjid ke politik. Masjid harusnya bisa jadi perekat bukan tempat gerakan propaganda,” katanya lagi. (lipsus)