Jakarta, Penacakrawala.com – Tensi politik Indonesia akan sangat turun saat Presiden Joko Widodo bisa kembali maju di Pilpres 2024, berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Demikian hal itu disampaikan Penasehat Komunitas Jokowi – Prabowo 2024 (JokPro 2024), M. Qodari dalam Diginas Tribun Network: “Pro-Kontra Presiden Tiga Periode dan Pasangan Jokowi-Prabowo,” Kamis (24/6/2021).
Apalagi kata dia, kalau melihat peta politik kala Jokowi-Prabowo berpasangan, maka akan mendapat dukungan potensial dari seluruh partai politik.
“Paling tidak 80 persen, ya paling tidak paralel dengan peta politik sekarang ini. Maka kemudian pasangan calonnya nanti di Pilpres 2024 itu cuman satu saja. Sehingga akan berhadapan dengan kotak kosong,” ujar Qodari.
“Kalau berhadapan dengan kotak kosong, pasti tensi politiknya akan sangat turun sedemikian rupa,” ucapnya.
Dengan begitu, lanjut dia, tidak akan ada lagi gesekan dan konflik di antara masyarakat karena polarisasi pilihan seperti saat Pilpres 2014 dan 2019. Bahkan sampai terjadi jatuhnya korban hanya gara-gara tingginya tensi politik antar pemilih pasangan Calon Presiden.
“Sehingga nanti pemilunya akan berjalan dengan lancar, enggak ada lagi cebong dan kampret. Apalagi kalau cebongnya pakai taring, kampretnya punya cakar begitu. Dan dengan situasi dan kondisi itu maka kita Pemilu berjalan damai, masyarakat tetap bisa memilih antara Jokowi-Prabowo dengan kotak kosong,” jelasnya.
“Itu sah, itu demokrati, dengan tensi politik yang jauh lebih ringan dan mudah-mudahan dengan skema seperti itu maka politik Indonesia akan bukan cuman tenang tetapi Indonesia bisa segera bangkit dari masalah Covid dan masalah ekonomi,” tegasnya.
Alasan Dorong Jokowi Tiga Periode Berpasangan dengan Prabowo di 2024
Qodari juga mengungkap alasan mendorong agar Presiden Joko Widodo bisa kembali maju di Pilpres 2024, berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Menghindari polarisasi dalam masyarakat pada Pemilu Presiden 2024 mendatang menjadi alasan mendorong Jokowi berpasangan dengan Prabowo di Pilpres 2024.
Qodari menilai Pilpres semakin lama semakin keras dari tahun ke tahun terakhir. Bahkan menurutnya, Pilpres terakhir-terakhir ini tidak sama dengan pemilu tahun 2004 tahun 2009. Kenapa tidak sama?
”Karena pertama, sekarang kita hidup di zaman politik identitas. Ini terjadi secara globalm bukan hanya terjadi di Indonesia.”
“Kedua yang juga baru adalah kita hidup di zaman medsos. Manusia sekarang hidup dalam dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Dunia medsos ini ternyata punya logikanya sendiri yang namanya logika algoritma biner dan itu menciptakan fenomena yang namanya ruang gema atau echo chamber,” ujar Qodari.
Hal itu kata dia, manifestasinya terlihat di Pilpres 2019 lalu dalam wujud kategorisasi cebong dengan kampret. Polarisasi ini telah mengakibatkan kerusuhan di 2019. Misalnya tatkala gedung Bawaslu diserbu habis-habisan, terjadi bentrokan di sejumlah lokasi di Jakarta.
Bila bukan Jokowi-Prabowo yang menjadi pasangan calon di 2024, maka dia khawatirkan akan terjadi kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar lagi dan banyak korban jiwa jatuh.
“Sehingga saya melihat nanti 2024 kalau kalau polanya tetap seperti ini, katakanlah calonnya bukan Jokowi-Prabowo, maka terjadi yang dikhawatirkan akan banyak korban yang meninggal, terjadi penyerbuan ke gedung MPR, petugas kelelahan, kecapaian jadi korban. Kemudian ada kena peluru nyasar kayak 2019 itu, ada orang seperti Yunarto Wijaya menjadi target pembunuhan. Itu dalam skala yang berlipat dari sebelumnya yang sudah kita lihat. Singkatnya Indonesia akan memenuhi teori dari pemilu menuju kekerasan,” jelasnya.
Atas dasar itu lah, lanjut dia, dirinya berpikir mengenai solusi untuk hal itu.
“Saya melihat solusinya ada pada Jokowi dan Prabowo,” ucapnya.
Kenapa Jokowi-Prabowo?
Karena memang dua tokoh ini yang selama ini merupakan representasi dari pilihan masyarakat Indonesia. Hal itu sudah terlihat dan dibuktikan dalam pilpres 2014 dan 2019.
“Sederhana saja karena mereka berdua ini yang selama ini didukung lalu kemudian kalau saya kampanyekan, saya sosialisasi Jokowi Prabowo, insya Allah secara naluriah nanti masyarakat akan mendukung,” jelasnya.
Kemdian dua tokoh itu juga adalah dari nasionalis. Hal ini untuk bersatu melawan tantangan radikalisme di NKRI.
“Saya memang pengen ada aliansi besar tokoh nasionalis NKRI bersatu untuk menghadapi tantangan yang yang lain yaitu radikalisme, pemikiran-pemikiran garis keras.”
“Jadi ada para petualang politik yang kemudian pengaruhnya besar dan bisa membuat tensi itu menjadi sangat tinggi. Istilah saya itu variabel imam besar. Nah variabel ini harus ditutup ruang komunikasinya, ruang politiknya,” tegasnya.
Source : Tribun.com
Editor : Adee